Panggilan Universal Menuju Kekudusan bagi Kaum Awam

Artikel pertama dari seri artikel “Mencintai dunia dengan penuh Hasrat,” suatu renungan  terinspirasi dari kumpulan homili St. Josemaria Escriva yang dibukukan dan berjudul “In Love with The Church.”

Photo by Andres Alvarez on Pexels.com

Aku tidak meminta, supaya Engkau mengambil mereka dari dunia, tetapi supaya Engkau melindungi mereka dari pada yang jahat (Yoh 17:15)

Kutipan teks Kitab Suci di atas merupakan salah satu doa Yesus kepada Allah Bapa untuk para murid-Nya, saat perjamuan malam terakhir. Yesus menyadari bahwa waktu-Nya di dunia bersama mereka telah mendekati akhir dan sengsara-Nya telah menyongsong. Dalam kebersamaan intim ini Yesus memberikan wasiat dan wejangan terakhir-Nya kepada para rasul. “Dan Aku tidak ada lagi di dalam dunia, tetapi mereka masih ada di dalam dunia, dan Aku datang kepada-Mu. Ya Bapa yang kudus, peliharalah mereka dalam nama-Mu, yaitu nama-Mu yang telah Engkau berikan kepadaKu, supaya mereka menjadi satu sama seperti Kita” (Yoh 17:11).

Yesus sangat mencintai para murid-Nya. Sebagai Putra Allah, Yesus dapat saja meminta kepada Bapa untuk mengambil atau memisahkan mereka dari dunia, tetapi Yesus meminta supaya Allah melindungi mereka dari dunia yang membenci mereka (bdk Yoh 17:14-15). Dan para murid ini diutus ke dalam dunia, supaya oleh pemberitaan mereka, orang-orang yang percaya kepada Yesus menjadi satu dengan Dia dan Bapa. [1]

Karakteristik murid Kristus yang ada di dalam dunia dan menjadi pewarta kabar gembira keselamatan adalah juga merupakan ciri umat Gereja Perdana di abad-abad awal Kristianitas. Kita dapat melihatnya dalam Kisah Para Rasul yang ditulis oleh St. Lukas untuk memberikan catatan gambaran kehidupan para murid Kristus yang disebut sebagai Kristen. Mereka adalah para pekerja, laki-laki dan perempuan, suami-istri, nelayan, petani, pejabat, dokter, tentara, pegawai pemerintah, dan berbagai profesi lainnya. Sama halnya ketika para awam memperoleh panggilan dan menerima Yesus dalam hati mereka saat mereka duduk dekat kaki Yesus dan mendengarkan Ia bersabda: “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Mat 5:48). [2]

Kristianitas hingga abad sekarang ini juga didominasi oleh kaum awam yang bergelut di dunia, mengusahakan dunia dengan kerja mereka dan berjuang untuk memperoleh keselamatan dan hidup kekal. Apakah hidup kekal yang dimaksud itu? Dalam tulisan bab Injil yang sama, ketika Yesus berdoa untuk para rasul, Yesus telah menggambarkan secara jelas mengenai hidup kekal itu. “Inilah hidup kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus” (Yoh 17:3).

Kitab Suci telah secara jelas menyatakan bahwa dunia itu bukanlah sesuatu yang jahat. Allah menciptakan dunia dan melihat semuanya itu baik. Yang membuat dunia menjadi jahat dan buruk adalah dosa dan ketidaksetiaan manusia. Sehingga, bagi kita yang adalah pria dan wanita dari dunia, segala upaya untuk melarikan diri dari kenyataan mulia kehidupan sehari-hari adalah sesuatu yang bertentangan dengan kehendak Allah. [4]

Seringkali terjadi kesalahpahaman mengenai cara orang berpikir bahwa jalan hidup Kristiani, menjadi seorang Kristen, adalah secara eksklusif bersifat spiritual. Atau, kesalahpahaman lain adalah bahwa spiritualitas dikhususkan hanya untuk sekelompok orang terpilih yang memisahkan diri dari dunia yang “rendah” atau setidaknya menyadari bahwa jiwa harus memberikan toleransi dan berdampingan dengan keduniawian selagi manusia hidup di bumi.

Ketika orang mengambil pemahaman ini, maka gereja menjadi suatu acuan mulia suatu kehidupan dan jalan hidup Kristiani. Dan dengan demikian, menjadi seorang Kristen berarti pergi ke gereja, ikut terlibat dalam upacara kudus, masuk ke dalam mentalitas eklesiastikal/gerejawi, dalam suatu dunia khusus yang dianggap sebagai pintu perantara ke surga. Sementara dunia pada umumnya mengambil jalan lain yang terpisah.

Namun, kebalikannya, kita harus menyadari sekarang juga bahwa Tuhan memanggil kita untuk melayani Dia di dalam dan dari kehidupan manusia yang awam, sekular, penuh aktifitas sipil. Tuhan menunggu kita setiap hari di laboratorium, ruang operasi, barak militer, di bangku kelas Universitas, pabrik, bengkel, ladang, rumah, dan di semua panorama pekerjaan secara luas. [5]

Tidak ada jalan lain, kita belajar menemukan Tuhan kita di kehidupan sehari-hari, atau kita tidak akan pernah menemukan-Nya. [6] Kita tidak dapat menjalani kehidupan ganda, membagi realitas hidup ke dalam hidup awam dan hidup spiritualitas yang terpisah satu sama lain. Hidup kita harus dipandang sebagai suatu kesatuan, dalam pelayanan kepada Kerajaan Allah. Kita harus membuat hidup sehari-hari sebagai suatu spiritualitas, mengubahnya menjadi suatu alat dan kesempatan untuk bertemu Yesus Kristus senantiasa.

Magisterium Gereja mengajak kita semua untuk berbalik dan melihat Kristus: Tuhan Yesus, guru ilahi dan teladan segala kesempurnaan, mewartakan kekudusan hidup kepada setiap murid-Nya tanpa membedakan. [7] Yesus telah mengambil inisiatif dan jika tidak dilakukan-Nya demikian, maka tidak ada kemungkinan bagi kita untuk menjadi orang kudus. Tuhan Yesus telah memberikan hal itu kepada kita sebagai perintah: Jadilah sempuna! Maka tidaklah mengherankan bahwa Gereja memastikan semua anaknya mendengar sabda yang selalu didengungkan: Maka dari itu, semua umat diundang dan diharuskan untuk kekudusan dan penyempurnaan semua kondisi hidup mereka masing-masing.

Bapa Suci Paus Fransiskus dalam ensikliknya Gaudete et Exsultate (Bersukacita dan Bergembiralah, April 2018) mengingatkan kembali mengenai misi kita sebagai orang Kristen. Seorang Kristen tidak bisa berpikir mengenai misinya di dunia tanpa melihatnya sebagai suatu jalan menuju kekudusan, “Karena inilah kehendak Allah: pengudusanmu” (1 Tes 4:3). [8] 

Ya, panggilan menuju kekudusan itu bersifat universal. Panggilan ini tidak terbatas hanya untuk kaum religius saja, tetapi juga untuk kaum awam. Adalah tugas kita sebagai orang Kristen untuk memproklamirkan Kristus yang meraja, mengumumkannya melalui apa yang kita lakukan dan kita katakan. Tuhan menginginkan pria dan wanita menjadi milik-Nya dalam semua langkah kehidupan. Beberapa diantaranya dipanggil untuk memisahkan diri dari masyarakat dan keterlibatan di dunia, supaya mereka menjadi pengingat bagi sebagian besar dari kita, melalui contoh hidup mereka, bahwa Tuhan itu ada. Kepada yang lainnya Tuhan mempercayakan tugas imamat. Tapi, Ia menginginkan bagian terbesar dari umat-Nya untuk ada di tempat mereka berada dan mengerjakan berbagai pekerjaan duniawi, dengan perjuangan menggapai kekudusan. [9]

Dalam panggilan untuk kekudusan yang ditujukan Tuhan kepada kita masing-masing, Dia juga menyapa kita secara pribadi. Jangan takut akan kekudusan. Kekudusan tidak akan menghilangkan tenaga, vitalitas, atau kegembiraan kita. Mari kita mengupayakan agar keinginan untuk kekudusan hidup merasuk dalam jiwa kita. Marilah kita katakan kepada Tuhan: Saya ingin menjadi orang kudus, atau setidaknya jika kita teringat akan kelemahan dan kekurangan kita, kita berkata: “Saya menginginkan untuk ingin menjadi orang kudus.” [10]

Benediktus Yohan

[1] Yoh 17: 18-21

[2] St. Josemaria Escriva. Conversations. 62

[3] Kej 1:31

[4] St. Josemaria Escriva. In Love with the Church. 52

[5] Ibid. 52

[6] Ibid. 114

[7] Konsili Vatikan II, Lumen Gentium, 40

[8] Paus Fransiskus, Gaudete et Exsultate, 19

[9] St. Josemaria Escriva, Christ is Passing By,105

[10] Francis Fernandez, In Conversation with God, 2, 69

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: