
Artikel ketiga dari seri artikel “Mencintai dunia dengan penuh Hasrat,” suatu renungan terinspirasi dari kumpulan homili St. Josemaria Escriva yang dibukukan dan berjudul “In Love with The Church.”
Dunia dimana kita hidup di masa ini identik dengan suatu prinsip kebebasan, freedom. Tapi, kita patut bertanya dalam benak kita. Kebebasan yang seperti apa? Kita tidak berada dalam era perbudakan, bagaimana bisa kita dikatakan tidak merdeka?
Tuhan menciptakan manusia dengan suatu kebebasan untuk memilih apa yang akan dilakukannya (free will). Sudah barang tentu Tuhan menginginkan yang terbaik untuk kita, ciptaan-Nya, dan menginginkan kita untuk memilih yang baik. Namun, seringkali kita memilih yang jahat di mata Tuhan. Seperti halnya manusia pertama leluhur kita di taman Eden, Adam dan Hawa. Atas dasar kebebasan, mereka jatuh ke dalam dosa asal.
Ya, betul. Dosa itu yang memperbudak kita. Kita tidak merdeka karena dosa. Tuhan bersabda: “Pilihlah kehidupan supaya engkau hidup” (Ul 30:19). Tapi seringkali kita lebih memilih maut dengan berbuat dosa. Karena setiap orang yang berbuat dosa adalah hamba dosa (Yoh 8:34).
Jika demikian, apa yang dapat kita lakukan supaya benar-benar merdeka? “Jadi apabila Anak itu memerdekakan kamu, kamu pun benar-benar merdeka.” (Yoh 8:36). Yesus sang Anak Allah, dialah yang akan memerdekakan kita. Dengan penebusan di kayu salib, Dia memerdekakan kita dari kuasa maut. Tapi apakah kita cukup hanya berpegang pada rahmat ini? Tuhan Yesus meminta kita untuk tetap berada dalam firman-Nya, dan kita akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu (Yoh 8:31-32). Kita tetap diminta untuk selalu berpegang pada firman-Nya. Sehingga kita selalu berada dalam kondisi benar-benar merdeka.
Hal itu pula lah yang selalu diinginkan Allah, yaitu agar kita selalu menjadi sempurna, sama seperti Bapa di Surga adalah sempurna (Mat 5:48). Kesempurnaan dalam ujud kekudusan hidup ini adalah tujuan kita. Tugas kita adalah untuk menyucikan diri,[1] dan panggilan untuk kekudusan itu diberikan kepada semua orang.
Paus Fransiskus dalam surat apostolik Gaudete et Exultate mengingatkan ajaran Konsili Vatikan II bahwa kesempurnaan hidup Kristiani adalah tujuan semua pengikut Kristus, tidak terbatas pada para imam dan anggota hidup bakti. “Kita semua dipanggil untuk menjadi kudus dengan menghayati hidup kita dengan kasih dan masing-masing memberikan kesaksiannya sendiri dalam kegiatan setiap hari, di manapun kita berada. Apakah Anda seorang anggota hidup bakti? Jadilah kudus dengan menghayati persembahan diri Anda dengan sukacita. Apakah Anda menikah? Jadilah kudus dengan mengasihi dan memperhatikan suami atau istri Anda, sebagaimana Kristus lakukan kepada Gereja-Nya. Apakah Anda seorang pekerja? Jadilah kudus dengan melakukan pekerjaan Anda dengan kejujuran dan kemampuan untuk melayani sesama. Apakah Anda orang tua atau kakek-nenek? Jadilah kudus dengan mengajarkan dengan sabar anak atau cucu untuk mengikuti Yesus. Apakah Anda sedang memiliki kekuasaan? Jadilah kudus dengan berjuang demi kesejahteraan bersama dan melepaskan kepentingan pribadi.”[2]
Umat Kristen awam yang hidup di tengah dunia dengan penuh tanggung-jawab adalah seperti yang dikatakan oleh St. Josemaria Escriva sebagai suatu panorama kerasulan laksana lautan tanpa batas pantai (a sea without shores).[3] Mereka hidup di tempat dan pada waktu dimana Tuhan menempatkan mereka. Mereka berjuang untuk menjadi alat yang patuh di tangan Tuhan supaya dunia dapat menjadi lebih Kristiani dan tiap individu manusia menemukan dirinya lebih bahagia dan merasa bermakna.
Lalu apakah yang menjadi tumpuan semangat mereka? Adalah suatu keyakinan bahwa kita semua masing-masing adalah anak Allah, suatu keputraan ilahi (divine filiation).[4] Dengan suatu doa yang tekun dan kebahagiaan yang datang dari pergulatan melawan kelemahan pribadi, kita dapat menjadi yakin bahwa tidak ada yang mustahil karena Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.[5]
Dengan keyakinan akan keputraan ilahi ini, kita dapat semakin mantap dalam upaya menggapai kesucian hidup di tengah dunia sambil melaksanakan tugas kerasulan kita sebagai pengikut Kristus.
[1] St. Josemaria Escriva. Jalan. 291
[2] Paus Fransiskus. Gaudete et Exultate (Bersukacitalah dan Bergembiralah). 14
[3] St. Josemaria Escriva. Conversations with Monsignor Escriva de Balaguer. 120
[4] St. Josemaria Escriva. Christ is Passing by. 64
[5] Rom 8:28
Tinggalkan Balasan